TAWURAN. FENOMENA YANG
PARADOKSIAL
Siapa lagikah orang di belantika
sosial nusantara yang tidak mengenal tawuran?Seandainya mungkin ada, pastilah
orang tersebut tak lebih dari seorang naïf yang tak terlalu tahu dan tak
terlalu mapu untuk merealisasikan dirinya sebagai salah satu makhuk sosial.Berkutat
mengenai tawuran, masing-masing orang tentu memiliki persepsi yang beraneka
ragam.Dari yang tidak tepat, berlebihan, dan sangat tepat.Yah.Walaupun
seyogyanya tidak ada yang benar-banar tepat dan pasti di dunia ini.Satu-satunya
kepastian di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri.Tawuran bukanlah
sesuatu yang memerlukan analisa tinggi untuk memahaminya. Cukup menekan tombol
merah di alat yang biasa kita sebut dengan “remote” dan diarahkan kepada layar
kaca berbentuk kubus yang ekspresif 14-21 inci, kita sudah bias berjibaku
dengan apa yang kita sebut dengan tawuran. Bagaimana tidak?Tawuran merupakan
fenomena hypercandu masyarakat dalam mahligai kehidupan social
Indonesia.Terlebih para pemuda-pemudi Indonesia atau yang familiar kita sebut
dengan remaja. Jika taman safari, taman mini, ancol, adalah wahana bermain para
bocah kelas “SD”, maka tawuran hampir bisa dikatakan adalah wahana bermain para
bocah kelas “mahasiswa”. Ekstrimnya, wahana yang satu ini tidak meminta uang
sebagai jaminannya layaknya TMII, ancol atau taman safari. Namun jaminan atau
kasarnya kita sebut “taruhan”nya adalah nyawa dan prestise. Sungguh sebuah
taruhan yang ironis.
Jangan mengira tawuran adalah
fenomena yang sekonyong-konyong muncul tanpa pemicu. Tawuran dapat diibaratkan
seperti anak yang memiliki induk yang melahirkannya, sebuah akibat yang ada
sebabnya, dan sebuah pergerakkan yang ada pemicunya. Lucunya, pemicu tawuran
kadang-kadang atau bahkan sering memperlihatkan kekonyolan yang menggelikan.
Dari masalah individu, hingga masalah yang langsung berkenaan dengan kelompok
itu sendiri. Kadang hanya karena saling mengolok-olok antar individu, salah
paham, sensitifitas yang terlalu tinggi, sakit hati, atau hal-hal lain yang
sebenarnya secara logika manusia terlalu nisbi untuk memicu terjadinya suatu
fenomena yang begitu tenar tersebut. Tawuran sama sekali bukan kebaikan dan
banyak sekali mengandung mudarat. Andaikata mudarat dari tawuran hanya sebatas
ruang lingkup pelakunya saja, mungkin tak akan jadi masalahyang hiperbola.
Namun semua itu tergantung realitas. Pasalnya, realitas yang ada sekarang
berbicara bahwa tawuran memberikan mudarat tidak kepada dua pihak saja. Namun
ada pihak ketiga, keempat, kelima, bahkan tak hingga jumlahnya.
Kalau sudah demikian, siapakah
kiranya yang patut di salahkan dan dikambing hitamkan?Pemerintah?Aparat
keamanan?Atau bahkan dunia?Kalau dipikir-pikir, pemerintah juga manusia.Punya
batas-batas kemampuan tertentu. Pemerintah juga memiliki beribu masalah yang
harus secepatnya ia selesaikan. Ada kasus hambalang, antasari, dan Miranda
gultom yang menunggu untuk diselesaikan.Jangan menaifkan diri kita sendiri
dengan selalu menjadikan pemerintah sebagai kambing hitam. Sementara aparat
keamanan, lebih nihil lagi! Aparat keamanan bahkan pihak yang pertama kali
turun tangan ketika tawuran membabi buta.Tapi alih-alih berhasil, aparat
keamanan dianggap sebagai lalat pengganggu yang tanpa pikir panjang langsung
dimusnahkan seketika.Jadilah aparat keamanan sebagai pihak ke tiga yang
menerima mudarat cuma-cuma dari tawuran.Kalau sudah demikian, masih pantaskah aparat
keamanan dihakimi?Apalagi dunia.Sayangnya, dunia sekarang begitu usang dan
pengap bersimbah peluh.Dengan poros berkarat yang tak pernah diganti, yang mana
dunia terus mengira dirinya tumbuh dan berkembang. Ketika pihak-pihak yang
tersangka di atas telah memiliki alibi mereka masing-masing yang sempurna, maka
tak ada jalan lain yang dapat ditempuh melainkan kembali ke titik permasalahan.
Pelaku tawuran itu sendiri.Hal ini mungkin terlihat seperti paradoks namun tak
dapat dipungkiri.Sebab satu-satunya kesimpulan bijak yang dapat diambil adalah
menitikberatkan terhadap pelaku tawuran. Tepat! Satu-satunya pihak yang tak
akan membuat siapapun menjadi naif karena menyalahkannya adalah pelaku tawuran
itu sendiri.
Sebagai manusia yang memiliki carrying capacity, sewajarnya tidak
hanya dapat memberikan kritisasinya terhadap suatu masalah namun juga mempunyai
solusi yang cerdas dan membuat orang berpikir untuk menempuh solusi itu.Berikut
ini adalah solusi sederhana yang mungkin tak pernah terbesit di pikiran manusia
manapun sebelumnya karena saking sederhananya ini.
Mengerti Makna Hidup
yang Sebenarnya
Dengan mengerti makna hidup yang
sebenarnya, setiap orang pasti akan lebih menyayangi hidupnya dan akan berpikir
beribu-ribu kali untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya
apalagi yang mendatangkan mudarat. Hal ini sangat making sense, dengan tawuran. Untuk berpikir dalam usaha memaknai
hidup, diperlukan kerja sama otak. Dengan kapasitas sebuah otak memproduksi
rata-rata 14.000 pemikiran per hari, 5 juta per tahun, dan 350 juta selama
hidupnya.Dalam sebuah novel berjudul Supernovaoleh
DEE dijelaskan ada tujuh respon dasar otak.
Pertama, respons hidup dan mati.Respons paling dasar.Bahkan kutu
rambut pun memilikinya.Lewat respons ini, hidup diproyeksikan sebagai rimba
perjuangan dengan satu tujuan, bertahan hidup.Kedua, respons reaktif.Ini adalah upaya otak untuk menciptakan
identitas.Setelah melewati tahap pertama, maka muncul kebutuhan yang lebih
kompleks, yakni ke-aku-an, kepemilikan.Ini jugalah perkenalan pertama kita
dengan konsep kekuasaan, aturan, dan hukum.Ketiga,
respons relaksasi. Di tengah hiruk pikuk dunia materi, otak yang senantiasa
aktif pun menginginkan kedamaian. Ia
ingin tenang, dan ia ingin yakin bahwa dunia luar bukanlah sumber segalanya.
Nah, ketika ia mulai berpaling kedalam, muncul respons keempat, respons intuitif. Otak mencari info ke luar dan juga ke
dalam.Pengetahuaneksternal bersifat objektif, dan yang internal bersifat
intuitif.
Kelima, respons kreatif.Manusia dimampukan untuk mencipta,
mengeksplorasi fakta.Kemampuan ini datang dalam momen yang penuh keajaiban yang
sering kita sebut inspirasi. Kita berkaca pada sang pencipta, atau apapun
istilahnya, dan melalui refleksinya kita mencicipi peran sebagai kreator. Keenam, respons visioner. Otak memiliki
kemampuan kontak langsung dengan kesadaran murni yang sama sekali tidak
ditemukan di dunia materi. Pada level inilah terjadi apa yang namanya mukjizat
atau fenomena-fenomena magis. Ketujuh,
respons murni.Otak kita berawalkan dari satu sel yang tidak memiliki
fungsi.Fungsi otak.Ia berawal dari satu cercah kehidupan. Tak
terkategori.Itulah sumber yang sesungguhnya.Sesuatu yang tidak perlu berpikir,
tetapi ada.
Melalui ketujuh respons ini,
manusia melihat dunia terbentang untuknya. Dan, apa yang dia lihat bergantung
dari respons mana yang ia pergunakan. Otak adalah alat yang disediakan bagi
kita untuk bermain dengan hidup.Permainannya sendiri?Terserah individu
masing-masing. Dengan demikian, jelaslah bahwa makna hidup yang sebenarnya akan
didapat apabila individu tersebut mau dan mampu bertadabur. Hidup ini indah,
kalau kita yang menjadikannya indah. Seperti prinsip Descrates Cogito, ergo sum –aku berpikir maka aku
ada. Dan bagaimana kita memilih jalan hidup yang benar dan nyaman Opto, ergo sum –aku memilih maka aku
ada.
Apa Salahnya
Bersahabat?
Manusia adalah makhuk
sosial. Sekaya apapun dia atau sesempurna apapun dia tak akan lepas dari sifat
membutuhkan orang lain. Tepat! Bahkan Adam Smith, David Ricardo, Sigmund Freud
dan tokoh-tokoh tenar lainnya menyetujui teori ini. Dilihat dari segi
hiruk-pikuknya, dunia tak lebih dari padang bianglala yang binal dengan berjuta
halau dan rintangan membentang.Terlebih Indonesia. Indonesia adalah salah satu
Negara yang memiliki presentase muslim terbesar di dunia. Indonesia juga
merupakan Negara yang memiliki budaya, suku, dan adat istiadat yang paling
bervariasi di dunia. Namun segala keunikan tersebut tak aka nada harganya sama
sekali ketika pemiliknya tidak paham dengan betul atau bahkan tidak tahu menahu
bagaimana cara menjaga apa yang dimiliki .secara harafiah, Indonesia masih
perlu pemantapan dalam satu hal penting, nations
(persatuan). Tawuran merupakan pengejawantahan dari minimnya rasa persatuan
Indonesia.Mirisnya, pelopor tauran adalah mereka yang kita sebut dengan remaja.Mereka
yang sana-sini diharapkan menjadi penerus bangsa untuk kehidupan yang lebih
baik.
Menjawab pertanyaan besar di atas,
APA SALAHNYA BERSAHABAT? Memang tidak salah, namun susah. Namun bukan susah
yang tersurat tetapi tersirat. Orang-orang bukannya tidak mengerti bagaimana
caranya bersahabat namun tidak ada kemauan yang signifikan dan murni dari
individu masing-masing. Karena masing-masing individu memiliki ideologi yang
kalau di ilhami secara mendalam akan muncul suatu konklusi yang sama, prestise.
Pertahanan prestise yang radikal.
Well, itulah dia tawuran. Suatu fenomena yang paradoksial. Namanya
juga peristiwa, tak akan lebih dari apa itu, dimana itu, siapa itu, kapan itu,
mengapa itu, dan bagaimana itu. Kita sebagai manusia yang mungkin akan
mengambil peran dalam menjawab pertanyaan “siapa itu” hanya bisa menonton
menikmati fenomena di layar kaca semesta nan binal. Intinya, sebuah peristiwa
hanyalah peristiwa dan tak akan pernah berganti nama. Semua itu tergantung kita
sebagai makhluk sosial yang setiap harinya diliputi oleh bermilyaran peristiwa.
Mau kita anggap apa itu tergantung pribadi masing-masing, bencana, kebahagiaan,
atau bahkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Tawar bagaikan air, sepoi bagaikan angin,
asri bagaikan taiga, beku bagaikan tundra atau jengah bagai savanna dan stepa.