Kamis, 06 Maret 2014


TAWURAN. FENOMENA YANG PARADOKSIAL
              Siapa lagikah orang di belantika sosial nusantara yang tidak mengenal tawuran?Seandainya mungkin ada, pastilah orang tersebut tak lebih dari seorang naïf yang tak terlalu tahu dan tak terlalu mapu untuk merealisasikan dirinya sebagai salah satu makhuk sosial.Berkutat mengenai tawuran, masing-masing orang tentu memiliki persepsi yang beraneka ragam.Dari yang tidak tepat, berlebihan, dan sangat tepat.Yah.Walaupun seyogyanya tidak ada yang benar-banar tepat dan pasti di dunia ini.Satu-satunya kepastian di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri.Tawuran bukanlah sesuatu yang memerlukan analisa tinggi untuk memahaminya. Cukup menekan tombol merah di alat yang biasa kita sebut dengan “remote” dan diarahkan kepada layar kaca berbentuk kubus yang ekspresif 14-21 inci, kita sudah bias berjibaku dengan apa yang kita sebut dengan tawuran. Bagaimana tidak?Tawuran merupakan fenomena hypercandu masyarakat dalam mahligai kehidupan social Indonesia.Terlebih para pemuda-pemudi Indonesia atau yang familiar kita sebut dengan remaja. Jika taman safari, taman mini, ancol, adalah wahana bermain para bocah kelas “SD”, maka tawuran hampir bisa dikatakan adalah wahana bermain para bocah kelas “mahasiswa”. Ekstrimnya, wahana yang satu ini tidak meminta uang sebagai jaminannya layaknya TMII, ancol atau taman safari. Namun jaminan atau kasarnya kita sebut “taruhan”nya adalah nyawa dan prestise. Sungguh sebuah taruhan yang ironis.
              Jangan mengira tawuran adalah fenomena yang sekonyong-konyong muncul tanpa pemicu. Tawuran dapat diibaratkan seperti anak yang memiliki induk yang melahirkannya, sebuah akibat yang ada sebabnya, dan sebuah pergerakkan yang ada pemicunya. Lucunya, pemicu tawuran kadang-kadang atau bahkan sering memperlihatkan kekonyolan yang menggelikan. Dari masalah individu, hingga masalah yang langsung berkenaan dengan kelompok itu sendiri. Kadang hanya karena saling mengolok-olok antar individu, salah paham, sensitifitas yang terlalu tinggi, sakit hati, atau hal-hal lain yang sebenarnya secara logika manusia terlalu nisbi untuk memicu terjadinya suatu fenomena yang begitu tenar tersebut. Tawuran sama sekali bukan kebaikan dan banyak sekali mengandung mudarat. Andaikata mudarat dari tawuran hanya sebatas ruang lingkup pelakunya saja, mungkin tak akan jadi masalahyang hiperbola. Namun semua itu tergantung realitas. Pasalnya, realitas yang ada sekarang berbicara bahwa tawuran memberikan mudarat tidak kepada dua pihak saja. Namun ada pihak ketiga, keempat, kelima, bahkan tak hingga jumlahnya.
              Kalau sudah demikian, siapakah kiranya yang patut di salahkan dan dikambing hitamkan?Pemerintah?Aparat keamanan?Atau bahkan dunia?Kalau dipikir-pikir, pemerintah juga manusia.Punya batas-batas kemampuan tertentu. Pemerintah juga memiliki beribu masalah yang harus secepatnya ia selesaikan. Ada kasus hambalang, antasari, dan Miranda gultom yang menunggu untuk diselesaikan.Jangan menaifkan diri kita sendiri dengan selalu menjadikan pemerintah sebagai kambing hitam. Sementara aparat keamanan, lebih nihil lagi! Aparat keamanan bahkan pihak yang pertama kali turun tangan ketika tawuran membabi buta.Tapi alih-alih berhasil, aparat keamanan dianggap sebagai lalat pengganggu yang tanpa pikir panjang langsung dimusnahkan seketika.Jadilah aparat keamanan sebagai pihak ke tiga yang menerima mudarat cuma-cuma dari tawuran.Kalau sudah demikian, masih pantaskah aparat keamanan dihakimi?Apalagi dunia.Sayangnya, dunia sekarang begitu usang dan pengap bersimbah peluh.Dengan poros berkarat yang tak pernah diganti, yang mana dunia terus mengira dirinya tumbuh dan berkembang. Ketika pihak-pihak yang tersangka di atas telah memiliki alibi mereka masing-masing yang sempurna, maka tak ada jalan lain yang dapat ditempuh melainkan kembali ke titik permasalahan. Pelaku tawuran itu sendiri.Hal ini mungkin terlihat seperti paradoks namun tak dapat dipungkiri.Sebab satu-satunya kesimpulan bijak yang dapat diambil adalah menitikberatkan terhadap pelaku tawuran. Tepat! Satu-satunya pihak yang tak akan membuat siapapun menjadi naif karena menyalahkannya adalah pelaku tawuran itu sendiri.
              Sebagai manusia yang memiliki carrying capacity, sewajarnya tidak hanya dapat memberikan kritisasinya terhadap suatu masalah namun juga mempunyai solusi yang cerdas dan membuat orang berpikir untuk menempuh solusi itu.Berikut ini adalah solusi sederhana yang mungkin tak pernah terbesit di pikiran manusia manapun sebelumnya karena saking sederhananya ini.


Mengerti Makna Hidup yang Sebenarnya
              Dengan mengerti makna hidup yang sebenarnya, setiap orang pasti akan lebih menyayangi hidupnya dan akan berpikir beribu-ribu kali untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya apalagi yang mendatangkan mudarat. Hal ini sangat making sense, dengan tawuran. Untuk berpikir dalam usaha memaknai hidup, diperlukan kerja sama otak. Dengan kapasitas sebuah otak memproduksi rata-rata 14.000 pemikiran per hari, 5 juta per tahun, dan 350 juta selama hidupnya.Dalam sebuah novel berjudul Supernovaoleh DEE dijelaskan ada tujuh respon dasar otak.
              Pertama, respons hidup dan mati.Respons paling dasar.Bahkan kutu rambut pun memilikinya.Lewat respons ini, hidup diproyeksikan sebagai rimba perjuangan dengan satu tujuan, bertahan hidup.Kedua, respons reaktif.Ini adalah upaya otak untuk menciptakan identitas.Setelah melewati tahap pertama, maka muncul kebutuhan yang lebih kompleks, yakni ke-aku-an, kepemilikan.Ini jugalah perkenalan pertama kita dengan konsep kekuasaan, aturan, dan hukum.Ketiga, respons relaksasi. Di tengah hiruk pikuk dunia materi, otak yang senantiasa aktif pun  menginginkan kedamaian. Ia ingin tenang, dan ia ingin yakin bahwa dunia luar bukanlah sumber segalanya. Nah, ketika ia mulai berpaling kedalam, muncul respons keempat, respons intuitif. Otak mencari info ke luar dan juga ke dalam.Pengetahuaneksternal bersifat objektif, dan yang internal bersifat intuitif.
              Kelima, respons kreatif.Manusia dimampukan untuk mencipta, mengeksplorasi fakta.Kemampuan ini datang dalam momen yang penuh keajaiban yang sering kita sebut inspirasi. Kita berkaca pada sang pencipta, atau apapun istilahnya, dan melalui refleksinya kita mencicipi peran sebagai kreator. Keenam, respons visioner. Otak memiliki kemampuan kontak langsung dengan kesadaran murni yang sama sekali tidak ditemukan di dunia materi. Pada level inilah terjadi apa yang namanya mukjizat atau fenomena-fenomena magis. Ketujuh, respons murni.Otak kita berawalkan dari satu sel yang tidak memiliki fungsi.Fungsi otak.Ia berawal dari satu cercah kehidupan. Tak terkategori.Itulah sumber yang sesungguhnya.Sesuatu yang tidak perlu berpikir, tetapi ada.
              Melalui ketujuh respons ini, manusia melihat dunia terbentang untuknya. Dan, apa yang dia lihat bergantung dari respons mana yang ia pergunakan. Otak adalah alat yang disediakan bagi kita untuk bermain dengan hidup.Permainannya sendiri?Terserah individu masing-masing. Dengan demikian, jelaslah bahwa makna hidup yang sebenarnya akan didapat apabila individu tersebut mau dan mampu bertadabur. Hidup ini indah, kalau kita yang menjadikannya indah. Seperti prinsip Descrates Cogito, ergo sum –aku berpikir maka aku ada. Dan bagaimana kita memilih jalan hidup yang benar dan nyaman Opto, ergo sum –aku memilih maka aku ada.
Apa Salahnya Bersahabat?
              Manusia adalah makhuk sosial. Sekaya apapun dia atau sesempurna apapun dia tak akan lepas dari sifat membutuhkan orang lain. Tepat! Bahkan Adam Smith, David Ricardo, Sigmund Freud dan tokoh-tokoh tenar lainnya menyetujui teori ini. Dilihat dari segi hiruk-pikuknya, dunia tak lebih dari padang bianglala yang binal dengan berjuta halau dan rintangan membentang.Terlebih Indonesia. Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki presentase muslim terbesar di dunia. Indonesia juga merupakan Negara yang memiliki budaya, suku, dan adat istiadat yang paling bervariasi di dunia. Namun segala keunikan tersebut tak aka nada harganya sama sekali ketika pemiliknya tidak paham dengan betul atau bahkan tidak tahu menahu bagaimana cara menjaga apa yang dimiliki .secara harafiah, Indonesia masih perlu pemantapan dalam satu hal penting, nations (persatuan). Tawuran merupakan pengejawantahan dari minimnya rasa persatuan Indonesia.Mirisnya, pelopor tauran adalah mereka yang kita sebut dengan remaja.Mereka yang sana-sini diharapkan menjadi penerus bangsa untuk kehidupan yang lebih baik.
              Menjawab pertanyaan besar di atas, APA SALAHNYA BERSAHABAT? Memang tidak salah, namun susah. Namun bukan susah yang tersurat tetapi tersirat. Orang-orang bukannya tidak mengerti bagaimana caranya bersahabat namun tidak ada kemauan yang signifikan dan murni dari individu masing-masing. Karena masing-masing individu memiliki ideologi yang kalau di ilhami secara mendalam akan muncul suatu konklusi yang sama, prestise. Pertahanan prestise yang radikal.
              Well, itulah dia tawuran. Suatu fenomena yang paradoksial. Namanya juga peristiwa, tak akan lebih dari apa itu, dimana itu, siapa itu, kapan itu, mengapa itu, dan bagaimana itu. Kita sebagai manusia yang mungkin akan mengambil peran dalam menjawab pertanyaan “siapa itu” hanya bisa menonton menikmati fenomena di layar kaca semesta nan binal. Intinya, sebuah peristiwa hanyalah peristiwa dan tak akan pernah berganti nama. Semua itu tergantung kita sebagai makhluk sosial yang setiap harinya diliputi oleh bermilyaran peristiwa. Mau kita anggap apa itu tergantung pribadi masing-masing, bencana, kebahagiaan, atau bahkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Tawar bagaikan air, sepoi bagaikan angin, asri bagaikan taiga, beku bagaikan tundra atau jengah bagai savanna dan stepa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar